Di sudut desa yang indah, pemandangan pegunungan dan hijaunya
daun-daun pepohonan menambah kesejukan pagi hari kampung sumber. Aku menyusuri
jalan kampung halaman, menikmati keindahan dan kesejukan tanah airku, tempatku
lahir di dunia. Kampung yang penuh
kebahagiaan, penuh canda tawa, persahabatan dan cinta. Semuanya hadir di kampung
ini. Sebuah kampung kecil namun
kisah hidup tercermin indah di sini.
Hayatul Husna,
nama yang orang tuaku berikan untukku putri tunggal Ibu Maryam dan Bapak
Shobar. Nama yang teramat singkat namun menyimpan arti yang dahsyat. Kehidupan
yang baik, itulah arti nama yang orang tuaku berikan untukku. Sebuah do’a agar
putri tunggalanya mempunyai kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat
kelak.
Dikampung yang
teramat kecil ini, aku memiliki seorang sahabat sejak aku masih kecil.
Kedekatan kita berdua bagaikan bulan dan matahari, sama-sama memancarkan cahaya
indah di bumi namun tak bias terpisahkan satu sama lain. Kita sudah sangat
lengket ibarat permen karet, kita bias menerima kekurangan danm kelebihan
masing-masing. Sahabatku bernama Anisa Rahma. “Dimana ada Anisa di situ ada
Husna”. Itulah perkataan orang-orang kampong mengenai kita berdua. Setiap hari
aku dan Anisa selalu menghabiskan waktu berdua penuh canda tawa dan
menghiraukan orang lain disekitar kita. Itulah kami, sahabat selamanya….
Bumi selalu
mengitari matahari, waktu yang selalu berjalan tanpa henti menambah usiaku,
Husna yang dulu masih kecil, manja, dan suka bermain kini telah beranjak
dewasa. Kini aku telah memahami kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan yang
penuh tantangan dan perjuangan, kehidupan yang penuh pengorbanan. Dan anisa
sahabatku, telah tumbuh dewasa dan cantik. Seperti hari-hari biasanya, aku dan
anisa berkumpul dan bercanda dengan perbincangan-perbincangan yang membuat kita
tertawa terbahak-bahak oleh kisah lucu yang kami buat. Namun entah apa yang
terbesit di fikiran anisa, tiba-tiba ia bertanya kepadaku tentang cinta.
“Na, menurutmu
arti dari cinta itu apa?” Tanya Anisa kepadaku
“kenapa nis
kamu tanya begitu?” jawabku balik bertanya kepada Anisa
“nggak apa-apa
na, aku nhanya ingin tahu apa pendapatmu tentang cinta itu?”
“Ohh,,, begitu, kalau menurutku ya nis, cinta adalah sebuah
keikhlasan. Kita mencintai seseorang dengan ikhlas atau dengan kata lain kita
mencintai seseorang dengan sepenuh hati kita. Kita ikhlas menerima apapun
kekurangan dan kelebihan seseorang yang kita cinta. Entah itu, ganteng, jelek,
kaya, miskin, sederhana, semuanya itu tak berarti. Karena menurutku cinta itu
berasal dari hati kita yang paling dalam. Cinta tak bisa diukur dengan materi
maupun apaun yang ada di dunia ini. Karena cinta itu suci. Cinta adalah
kekuatan kita tuk melangkah. Dan yang paling penting adalah ketika cinta itu
hadir mewarnai hati kita, kita juga harus ikhlas melepaskannya jika yang kita
cinta itu bukanlah takdir hidup kita. Karena cinta itu tidak bisa dipaksa.
Mengaku cinta, namun dengan segala cara berusaha untuk mendapatkannya, hingga
memutuskan sebuah tali sillaturrahim persahabatan apalagi persaudaraan,putus
cinta hingga membuat depresi dan bunuh diri, semuanya itu bukanlah cinta namanya, namun hanyalah
sebuah obsesi kepada seseorang yang mengatasnamakan cinta. Itulah cinta menurutku
nis.” Jawabku panjang
lebar
“ emm… masuk akal na pendapatmu. Kalau husna sedang mengutarakan
pendapatnya, pasti yang mendengarkan jadi merinding dan hanya bias
mengangguk-angguk.” Kata
Anisa meledek dengan senyumannya yang manis
“ hmmmm… bias aja kamu kalau meledek orang…” jawabku tersenyum
Ditengah keasyikan kita bercanda, tiba-tiba ada seorang lelaki yang
tampan, lelaki penuh wibawa, lelaki yang teramat sopan, lelaki yang berbeda
dengan lelaki lain di kampung kami.
“ eh, na kamu tahu nggak lelaki itu, kayaknya kok baru lihat?” Tanya Anisa kepadaku
“ nggak tahu nis, aku juga baru lihat laki-laki itu.” Jawabku
Entah mengapa melihat lelaki itu jantungku berdebar-debar tak
menentu, ada sesuatu yang aneh yang sulit tuk di tafsirkan dan di ungkapkan.
“ Assalamu’alaikum
ukhty….” Kata lelaki itu
“
Wa’alaikumussalam… “ jawabku
dan Anisa serentak
“ ‘afwan ukhty,
rumahnya pak Badri di mana ya?” Tanya lelaki itu
“
oh, pak badri, di sebelah sana mas, dekat masjid, nanti di pertigaan belok ke
kanan rumah pak badri di ujung selatan menghadap ke barat.” Jawabku sambil
menunjuk arah
“ oh,,, iya.
Syukron ukhty.” Kata lelaki itu
“ iya mas
sama-sama.” Jawabku
“ maaf mas
orang baru ya di kampung ini?” Tanya
Anisa
“ bukan, saya
asli orang sini. Pak Badri adalah ayah kandung saya. Saya sudah lama merantau
kuliah di Turki. Hampir 15 tahun saya meninggalkan kampung ini.” Jawab lelaki itu
“ maaf, kalau
boleh tahu, nama mas siapa ya?” Tanyaku
“ Fajar.
Muhammad Fajar. Kalau kamu?” Tanya
fajar
“ hayatul husna,
dan ini Anisa.” Jawabku
“ ya sudah,
saya mohon pamit ya. Terima kasih banyak.” Kata fajar
Setelah kejadian
itu, saya dan mas fajar hampir setiap hari bertemu, karena mas fajar juga
mengajar ngaji adek-adek di masjid. Mas fajar mengajar yang putra, sementara
saya mengajar yang putri. Dengan pertemuanku dan mas fajar yang terlalu sering,
membuat perasanku sulit tuk di kendalikan.
Saat bertemu mas fajar, ada pelangi yang menghias hatiku, dan ketika tak
bertemu dia walau hanya sehari ada rindu yang menyapa jiwaku. Mas fajar adalah
cinta pertamaku, cinta yang dating tanpa diundang. Cinta yang hadir tuk buatku
mulai melangkah, cinta yang hadir mewarnai hari-hariku.
Namun, kedekatanku
dengan mas fajar, membuat Anisa sahabatku cemburu, ia juga memendam rasa dengan
mas fajar. Sejak aku dekat dengan mas fajar ia jarang bahkan tak pernah bertemu
denganku lagi. Sejak saat itulah aku memutuskan untuk menghindar dari mas
fajar. Karwena menurutku seindah apapun cinta itu tak seindah dengan hubungan
persahabatan. Karena mungkin, jika aku menjalin kisah cinta dengan mas fajar,
belum tentu ia kan menjadi takdir hidupku besok.
Waktu berlalu
dengan amat sangat cepat bahkan lebih cepat dari kilat menyambar, semua yang
telah berlalu dalam hari-hariku kini hanyalah sebuah memory ingatan baying
–byang yang mengusik keindahan warna hariku. Setelah aku menjauh dari mas
fajar, hubungan persahabatanku dengan anisa dan kisah cintaku dengan mas fajar
semakin rumit. Anisa tak mau mendengarkan apapun penjelasanku, hatinya sudah
tertutup dengan rasa cemburu yang menghampirinya. Ia memutuskan untuk merantau
ke Ibukota Negara membantu keuangan keluarganya. Sementara mas fajar, baru satu
bulan datanmg ke kampung sudah harus pergi untuk melanjutkan study S-2 nya di
Turki. Kini, hari- hari yang ku jalani menjadi hambar dan kosong, hanya sebuah
penantian yang tersirat di benak ini. Menanti hadirnya sosok sahabat dan sosok
mas fajar. Hanya rindu yang menemani hariku. Hanyalah untaian do’a yang sanggup
ku berikan kepada dua orang yang sangat aku
sayangi, dua orang yang amat penting dalam kehidupanku. Dua orang yang
memberiku motivasi dan inspirasi tuk memahami arti dari sebuah kehidupan.
Setelah kepergian
mereka berdua, hidupku bagai tanpa pedoman, aku hidup bagaikan pungguk yang
merindukan rembulan. Saat pagi, aku menanti datangnya bulan dan bintang, dan
ketika malam datang, aku menanti hadirnya matahari yang menyinari bumi. Rindu
telah menyelimuti hariku, dan Penantian telah hadir dalm hidupku. Itulah
kehidupan yang saat ini kulalui. Kehidupan yang penuh rindu dan penantian.
Menati hadirnya sahabat kembali dan menanti belahan jiwa datang di kampung ini.
Comments
Post a Comment